Warga Bugis Menjaga Tradisi Berabad-Abad Membangun Kapal Pinisi, Mengarungi Tujuh Benua


Perajin kapal di Bulukumba, Sulawesi Selatan, kini kebanjiran pesanan. Satu kapal bisa dihargai Rp5 miliar. Kapal pinisi sukses membawa bangsa pelaut itu berlayar hingga Cina dan Australia.

Orang Bugis adalah pelaut dan pedagang ulung di nusantara, sejak berabad-abad lalu. Mereka memiliki daftar lengkap angin muson, yang memandu mereka berlayar hingga Australia, Cina, dan pulau Tumasik yang di kemudian hari akan kita sebut Singapura. Kejayaan maritim ini ditopang oleh desain kapal tangguh: Pinisi. Kapal ini bisa melayani kebutuhan apapun, termasuk berdagang hingga sudut-sudut terjauh dunia. Tak cuma itu, orang-orang Bugis telah menjadi bajak laut disegani, sejak era iring-iringan kapal dari Serikat Dagang Hindia Belanda (VOC) masih berlayar di lautan nusantara. Sempat muncul kabar burung, jika istilah 'boogeyman' yang populer dalam dunia mistik Barat, berakar dari sosok orang Bugis. (Tentu saja ini kemungkinan besar cuma mitos, sebab 'boogeyman' dari telaah linguistik sebetulnya kata serapan dari Timur Tengah).


Setelah berabad-abad, orang Bugis tetap merawat kebudayaan leluhurnya, terutama soal membangun kapal pinisi pilih tanding. Kebanyakan pinisi kini dibuat untuk kebutuhan pesiar. Satu kapal besar ini dapat dihargai hingga Rp5 miliar. Desain pinisi sudah dipuji oleh banyak pakar perkapalan dunia. Konstruksi, kenyamanan, serta kehandalannya telah teruji, walaupun pinisi sampai sekarang tetap 100 persen dibangun oleh tangan-tangan manusia.

Arzia Tivany Wargadiredja dari VICE Indonesia mendatangi desa pesisir di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ini adalah tempat berkumpulnya panrita lopi: para ahli pembuat kapal. Di balik tebing batu Bonto Bahari, pinisi ukuran raksasa berjajar gagah. Ariawan adalah salah satu pengusaha besar yang berhasil membangun kerajaan bisnis berkat pinisi. Anak buahnya pada saat kami datangi sedang menyelesaikan sebuah pinisi yang dipesan perusahaan asal Spanyol.


Daeng Mille adalah salah satu perajin utama kapal pinisi yang hari itu bisa ditemui. Dia mengaku keahlian merancang kapal lebih menyerupai berkat dari langit. Menurutnya, pembuat kapal pinisi ini tidak punya gambar awal. Tidak ada acuan detail yang presisi pernuh perhitungan teknis. Gambar sebatas ide kasar pemesan. Itulah kenapa bakat merancang kapal ini semacam "berkat".

"Kalau kita bicara gambar (desain) kita enggak ada gambar. Gambar itu ada di kepala kita, di otak," ujarnya.

Karena tuntutan zaman, kini pinisi butuh mesin, tidak sepenuhnya mengandalkan layar. Tapi jangan salah, dulu hanya bermodal embusan angin, pelaut Bugis bisa mencapai banyak lokasi. Daeng Mille pernah berlayar dari Mesuji Lampung Utara ke Jakarta pada 1976, tidak pakai mesin. "Benar-benar kita andalkan angin," ujarnya. 

Komentar